Kamis, 13 Juni 2013

PENDIDIKAN DAN PARIWISATA BALI: DEK ANA, “AYAHKU MENINGGAL, IBUKU KAWIN LAGI”

PENDIDIKAN DAN PARIWISATA BALI: DEK ANA, “AYAHKU MENINGGAL, IBUKU KAWIN LAGI”: Dek Ana bersama kakeknya        Wajah yang ceria selalu terpancar dari Dek Ana, panggilan akrab Made Sudana (8). Anak periang yang suka...

DEK ANA, “AYAHKU MENINGGAL, IBUKU KAWIN LAGI”

Dek Ana bersama kakeknya
       Wajah yang ceria selalu terpancar dari Dek Ana, panggilan akrab Made Sudana (8). Anak periang yang suka berpantun ini merupakan siswa SD No.2 Kalisada, Kecamatan Seririt, Buleleng. Tidak ada beban tersirat di mata Dek Ana. Namun, siapa sangka bocah ini memiliki kehidupan yang miris.
       Kehidupan Dek Ana tidak pernah diliputi kasih sayang kedua orangtuanya. Pasalnya, sebelum Dek Ana melihat dunia ini, ayahnya, Made Suarmita (alm) telah berpulang terlebih dahulu. 8 tahun silam, tahun 2005,    Made Suarmita (alm.) mengalami kecelakaan maut bersama anak pertamanya yang tak lain merupakan kakak Dek Ana. Malangnya, Made Suarmita (alm.) meninggal di lokasi kejadian sedangkan anak sulungnya meninggal dalam perjalanan menuju ke rumah sakit.
      “Rasa kehilangan sangat saya rasakan saat itu. Dalam hari yang sama, waktu bersamaan, saya harus kehilangan anak dan cucu saya. Namun, saya berusaha tegar saat pertama kali mendengar berita kematian mereka,” kenang Wayan Sukadana pilu saat ditemui di gubuknya, Banjar Dinas Tegallenga, Desa Kalisada, Seririt, Buleleng, Minggu (20/1).
      Dek Ana bisa dikatakan tidak pernah melihat wajah sang ayah. Namun, kehilangan itu belum juga berakhir. Setelah ia lahir dan berumur 3 bulan, ia kembali harus rela kehilangan sosok ibu dalam hidupnya.
“Umur 3 bulan, menantu saya pergi meninggalkan anaknya, Dek Ana. Lalu menikah lagi. Saya tidak mempermasalahkan hal itu. Namun, yang saya sesalkan, tidak sekali pun, bahkan sampai sekarang, bekas menantu saya itu menengok anaknya kemari. Padahal bekas menantu saya menikah dengan pria yang masih berasal dari desa ini,” tutur Ketut Yasni, nenek Dek Ana.
      Sejak menjadi yatim piatu, Dek Ana dirawat oleh kakek-neneknya di sebuah gubuk dekat pantai. Kehidupan Dek Ana tidak begitu mengenal kasih sayang orangtua. Namun, Dek Ana belum merasakan kesedihan karena usianya yang masih kecil. Kesehariannya begitu lekat dengan pantai sehingga menjadikannya tumbuh menjadi perenang di laut yang andal layaknya anak-anak pantai lainnya.
      Diasuh kakek-nenek yang tidak punya penghasilan tetap tidak berarti membuat Dek Ana tidak mengenal bangku sekolah. Bahkan kakek-neneknya berharap bisa menyekolahkan Dek Ana minimal sampai SMA. Beruntung, Dek Ana mendapat beasiswa di SDN 2 Kalisada. Selain itu, Dek Ana sempat diberikan sumbangan uang, pakaian, dan alat tulis dari turis asal Belanda. Namun, tentu saja itu hanya cukup untuk masa SD. Bagaimana dengan pendidikan Dek Ana selanjutnya? Kakek-neneknya juga tidak mengenal sekolah sehingga tidak bisa membimbing Dek Ana belajar di rumah. Akibatnya, Dek Ana belajar sendiri dan sering malas belajar. Di sekolah, Dek Ana memang tidak begitu berprestasi.
       Di dunia ini, tidak jarang ditemui orang yang memiliki nasib sama bahkan lebih miris daripada Dek Ana. Dek Ana hanya potret kecil kehidupan di luar sana yang masih serba sulit, bahkan untuk pendidikan. Dalam pahitnya kehidupannya sejak kecil dan himpitan ekonomi pengasuhnya, beruntung Dek Ana tidak kehilangan masa kecilnya yang penuh kebandelan dan petualangan. Mungkin itulah warisan berharga yang dititipkan almarhum ayahnya untuk Dek Ana nikmati meskipun tiada harta dan ibu yang bisa membuatnya bahagia. Jika besar nanti, Dek Ana ingin menjadi seorang nakhoda agar bisa mengarungi luasnya lautan. (kds)